Menganalisis Nilai-Nilai dalam Dua atau Lebih Cerita Pendek
Kota itu—bukan berarti daerah tingkat dua, disebut begitu karena menjadi ibu kota kabupaten, secara administrasi sebetulnya hanya kecamatan—mendadak berdenyut. Bukan karena pembangunan melejit atau sebaliknya, bukan pula karena jadi perbincangan sebab bencana, ini hanya karena makanan.
—
TEPATNYA,
karena bupati baru begitu mengidamkan makanan yang berbahan daging dengan
selimut rempah ruah. Spesial rendang Minang; hitam dan kering berminyak.
Sejatinya,
bupati ini bukan orang Minang. Dia Melayu asli walau ada campuran darah Aceh
pada kakeknya. Sang kakek adalah anak seorang saudagar yang menikahi dara Aceh.
Tapi setelah itu, sang kakek menikah dengan gadis Melayu tulen. Pun bapaknya
mempersunting putri Melayu asli. Istri bupati juga bukan Minang. Dia malah
Jawa. Si istri adalah generasi ketiga dari keluarga Jawa yang dipaksa Belanda
untuk menjadi buruh kebun tembakau. Ibu si istri juga demikian. Bedanya, bapak
si istri bukan dari kebun tembakau, melainkan buruh kelapa sawit di perkebunan
milik orang Belgia. Keduanya bertemu di pasar saat belanja, tepatnya di hari
pasar alias pekan.
Dan,
kota itu –seperti kebanyakan kecamatan di wilayah itu– hanya memiliki dua baris
pertokoan. Ada yang menjual emas. Ada yang menjual barang bangunan. Ada yang
menjual pakaian. Ada yang menjual buku dan perlengkapan kantor serta fotokopi
sekaligus studio foto. Ada yang jual barang pecah belah. Ada yang menjual
sepatu. Tak ada warung makan. Kedai tempat orang makan atau sekadar membeli
lauk-pauk letaknya di luar pertokoan itu. Warung pertama di samping Kantor Pos.
Warung kedua –sekira 500 meter dari Kantor Pos– di seberang kantor Telkom.
Warung ketiga letaknya tak jauh dari SMA yang hanya ada satu di kota itu. Dan,
warung keempat mengambil tempat dekat pasar. Memang, ada beberapa warung lain,
tapi kelasnya rumahan; tempat makannya hanya terdiri atas dua meja dan empat
kursi di masing-masing meja; menunya pun terbatas. Begitu pun empat rumah makan
tadi, meski menunya lebih banyak dan beragam, tapi tak ada yang menjual rendang
seperti yang diinginkan bupati.
Dulu,
dua puluhan tahun lalu, ketika barisan toko hanya satu dan wilayah itu belum
menjadi ibu kota kebupaten, ada sebuah warung makanan yang menjadi langganan
keluarga si bupati. Kini, lokasi warung itu telah berubah menjadi toko penjual
buku dan perlengkapan kantor serta fotokopi sekaligus studio foto. Tapi,
pemiliknya sama, yakni Uni Tin. Nama tokonya pun tak berubah, tetap Uni Tin. Di
warung makan inilah si bupati muda termanjakan oleh nikmat rendang.
Setelah
sekian lama, si bupati yang akrab disapa dengan sebutan Haji Wan itu kembali.
Dia kembali karena terpilih menjadi bupati. Padahal, tidak ada lagi keluarganya
di kota itu. Bapak, ibu, serta adik-adiknya telah pindah ke kota besar. Dia
malah pindah pulau, kuliah dan bekerja di sana. Bahkan, dia jumpa istrinya di
pulau tersebut. Atas nama satu daerah kelahiranlah mereka menjadi dekat.
Menikah dan punya tiga anak. Pesta pernikahan di kota besar. Anak-anak lahir di
kota besar. Dengan kata lain, kalau tak jadi bupati, Haji Wan pasti tidak akan
kembali.
Tapi,
partai butuh dia menjadi bupati. Dia putra daerah dan keluarganya adalah tokoh
dari daerah itu. Bangkitkan saja kenangan sedikit, maka orang-orang akan ingat
soal tiang listrik atau pipa air PDAM yang keluarganya usahakan. Tidak itu
saja, jalan aspal pun dianggap karena andil keluarganya. Jadi, meskipun instan,
Haji Wan terpilih sebagai bupati adalah sebuah keniscayaan. Hidung partai bagus
mencium hal itu.
Masalahnya
itu tadi, Haji Wan merasa ada yang beda dengan kotanya kini. Dia merasakan ini
sejak masa kampanye. Tepatnya ketika dia menyadari kalau Uni Tin tidak lagi
menjual nasi.
”Uni
sudah tidak sesabar, sebijak, dan setekun dulu sejak melihat celah yang lebih
menguntungkan,” begitu alasan Uni Tin ketika Haji Wan bertanya.
”Rendang
Uni itu…”
”Banyak
yang jual.”
”Tidak
hitam dan kering berminyak.”
”Mereka
tetap menyebutnya rendang.”
Haji
Wan ingin membantah, tapi apa daya. Dia biarkan saja Uni Tin dengan pikirannya.
Saat itu, Haji Wan berpikir, pasti ada di kota itu yang menjual rendang seperti
Uni Tin. Ya, mana mungkin tidak.
”Orang
pemerintahan selalu ke toko ini. Ya, fotokopi. Beli peralatan. Foto. Tidak
berubah kalau Anak jadi bupati kan?”
Haji
Wan tertawa dan mengangguk.
Sejak
itu, saat kampanye, bahkan setelah terpilih dan menjabat, Haji Wan terus
mendatangi warung-warung makan yang ada. Pertama, warung makan samping Kantor
Pos. Rendang yang tersedia tidak hitam dan kering. Rendangnya agak merah dan
basah. Tak ada kentang kecil berkulit pada rendang itu. Dan Haji Wan paham itu
bukan rendang Minang, melainkan Aceh; tidak begitu pedas dan kelapanya terasa
kurang. Kedua, warung di seberang Telkom. Tidak juga hitam dan kering, malah
terkesan cair berkuah serta berwarna lebih muda. Ada juga kacang merahnya. Haji
Wan lagi-lagi paham, ini rendang Melayu; mirip kalio dan proses masaknya paling
tak lebih dari tiga jam. Warung di pasar menjadi tempat ketiga yang dia
kunjungi. Hasilnya? Tidak hanya berwarna jauh dari hitam dan kering berminyak,
rendang di warung ini malah terasa beda. Mirip kalio juga, tapi ada rasa
manisnya dari gula merah. Jelas, pikir Haji Wan, ini pasti rendang Jawa. Yang
lebih parah ketika Haji Wan datang ke warung makan dekat SMA, rendangnya
bukanlah rendang, tapi kari yang kering. Ya, daging dengan bumbu kari, tapi
disebut rendang.
”Tidak
masak rendang, Kak?” tanya Haji Wan di warung makan rumahan, yang menyediakan
tempat duduk terbatas dan menu yang terbatas pula.
”Besar
modalnya, Pak. Harga daging mahal, belum lagi rempah-rempahnya,” jawab sang
penjual sambil menawarkan ikan tongkol sambal dan kangkung rebus.
Haji
Wan tersenyum. Dia makan di situ dengan menu yang ada. ”Kakak ingat rendang Uni
Tin?”
Sang
penjual memandang bupatinya itu. ”Tak enak ikan tongkolnya?”
”Bukan
itu, enak. Tapi rendang itu, kenapa dia bisa hitam?”
”Itulah
rendang Minang.”
”Bukan
itu, kenapa bisa hitam?”
”Dia
dimasak lama. Bisa lebih dari delapan jam. Dia pakai kelapa yang digongseng.
Tapi gak tahulah, aku bukan orang Minang. Aku Mandailing.”
Haji
Wan mengangguk-angguk. Dia tahu soal kelapa gongseng itu, pun kelapa yang
dijadikan santan dengan perbandingan empat buah untuk satu kilogram daging,
setidaknya Uni Tin sempat memberikan resep padanya tempo hari. Tapi, setelah
dicoba di rumah, dimasak pembantunya yang orang pesisir, tetap saja rasanya
berbeda. Hitam iya. Kering iya. Pakai kentang kecil berkulit juga iya. Tapi,
tetap beda. Beberapa kali dicoba, malah pahit.
”Itu
karena Anak sudah beda, jadi rasanya juga jadi beda,” kata Uni Tin.
”Sama
saja, tak ada yang beda. Wan tetaplah Wan.”
”Anak
sudah banyak merasakan makanan yang lain. Rendang yang lain. Jadi, lidah Anak
sudah beda.”
”Rendang
Uni itu beda…”
Uni
Tin tertawa. ”Sama saja… lidah Anak yang berbeda.”
”Masak
untukku Uni, semua biaya aku yang tanggung. Aku kasih lebih!”
Maka,
seperti sebelum-sebelumnya, Uni Tin tetap menolak. Dia mau mengasih resep, tapi
tidak memasakkan. Entah kenapa dia begitu keras. Dia hanya mengatakan tidak
sesabar, sebijak, dan setekun dulu.
Dan,
dari kisah itulah, kota mendadak berdenyut. Cerita soal Uni Tin yang tidak mau
memasakkan rendang buat bupati langsung mengalir dari mulut ke kuping satu
warga ke warga lainnya. Warung-warung makan mulai mempromosikan rendang. Warung
makan rumahan mulai menyediakan menu rendang. Para penjual berharap bupati
melupakan rendang Uni Tin dan beralih ke mereka. Ada pula pejabat kabupaten
yang cari muka dengan memasakkan rendang dan mengirimkan khusus pada bupati.
Para kontraktor yang berharap proyek sampai memaksa istri untuk melakukan hal
yang sama. Bahkan, anggota dewan membuat tim khusus soal itu. Tim ini sampai
studi banding ke Sumatera Barat, sepekan di Tanah Minang, dengan memakai uang
rakyat demi kesenangan bupati.
”Setelah
kami ke daerah asalnya, tak ada yang beda dengan resep yang diberikan Uni Tin,
Pak Bupati,” lapor seorang anggota dewan, rekan separtai Haji Wan, usai pulang
studi banding.
”Sudahlah.”
”Tidak
bisa begitu. Uni Tin ini kurang ajar, kenapa dia tidak mau memasakkan kan?”
”Sudahlah…”
”Kalau
begini, kita gunakan kekuasaan saja?”
”Maksudnya?”
”Kita
bisa buat saja kebijakan untuk memboikot toko Uni Tin sampai dia mau memasakkan
randang untuk Pak Bupati…”
Haji
Wan tertawa. ”Jangan aneh-aneh. Proses memasak rendang itulah yang terpenting.
Bisa sampai delapan hingga 24 jam. Sabar kata kuncinya. Prosesnya itu dari
gulai ke kalio baru ke rendang. Tapi kalau sudah masak, tak perlu kulkas, dia
bisa bertahan sampai satu bulan!”
Anggota
dewan itu langsung memandang kosong, membayangkan Uni Tin yang berpeluh memasak
rendang. Sesaat dia bergidik mengingat bagaimana memilih daging yang benar,
memilah beraneka rempah terbaik, kemudian memasak dan menjaga api dalam waktu
yang cukup lama. ”Pantas…” katanya kemudian.
Begitulah,
kota itu terus berdenyut. Bupati tetap mengidamkan makanan yang berbahan daging
dengan selimut rempah ruah. Spesial, rendang Uni Tin. Dia, Haji Wan, Melayu
asli walau ada campuran darah Aceh pada kakeknya. Sang istri malah Jawa,
generasi ketiga dari buruh kebun. Tapi, dia tetap merindukan rendang Minang,
yang hitam dan kering berminyak, dan dia belum menemukannya. (*)
Mashdar Zainal
Ketika saya membersihkan rumput di halaman rumah pekan lalu, seekor burung mungil mendadak hinggap di dahan kenanga di sudut pekarangan. Seekor burung berbulu hitam mengilap kebiru-biruan dengan warna oranye di bagian perut. Saya yakin, itu jenis murai batu. Serta-merta saya teringat kisah Pardi dan Sobari.
—
LIMA
belas tahun lalu, saat saya masih kuliah, saya mengontrak sebuah rumah di ujung
gang –yang jaraknya tiga kilometer dari kampus tempat saya kuliah. Sebenarnya
bukan cuma saya yang mengontrak di rumah itu, tapi juga empat teman saya. Rumah
itu tidak lebar, tapi punya lima kamar. Masing-masing dari kami menempati satu
kamar. Dan saya dapat kamar paling depan. Kamar yang berseberangan langsung
dengan teras yang lebarnya cuma satu meter. Manakala jendela kamar itu dibuka,
saya bisa langsung melihat teras sempit itu, juga halaman yang penuh dengan
tanaman tak terurus. Serta dua rumah yang berdempetan di seberang jalan. Rumah
Pardi dan Sobari.
Kami
tak begitu karib dengan keduanya, baik Pardi maupun Sobari. Pardi, ia seorang
lelaki paro baya, punya seorang anak berumur tujuh tahun. Dan istrinya cerewet
sekali. Setiap pagi, rumah itu ribut tidak keruan. Lebih ribut dari kandang
ayam. Pardi meneriaki istrinya, istrinya meneriaki anaknya, anaknya menangis,
lalu Pardi dan istrinya sama-sama meneriaki anaknya. Bocah itu sudah masuk SD,
tapi hampir setiap malam masih ngompol. Jadi, setiap pagi Pardi atau istrinya
selalu menjemur kasur lipat berwarna biru, disampirkan begitu saja di pagar
depan rumah, mereka memukul kasur-kasur itu dengan penebah, debu beterbangan,
dan aroma pesing lagi apek dari kasur itu kerap melayang-layang sampai ke kamar
saya.
Adapun
Sobari, lelaki tua, kisaran enam puluh atau tujuh puluh tahun, duda, tinggal
seorang diri. Konon dia punya seorang anak, lelaki, tapi anak itu sudah mati
dan dikubur di luar kota. Menurut cerita, anak Sobari kerja di sebuah
perusahaan listrik, lalu mati tersetrum saat memperbaiki kabel di sebuah
permukiman padat penduduk. Mayatnya menggantung di antara juntaian kabel di
ketinggian. Itu cuma cerita, saya tidak tahu pasti kebenarannya. Yang saya
tahu, dan itu pasti, bahwa Sobari ini suka sekali memelihara burung. Di teras
rumahnya yang sempit itu, tak kurang dari tujuh kurungan menggantung di
langit-langit. Dan setiap kurungan ada isinya. Saya tidak jeli, jenis burung
apa saja yang dipelihara Sobari. Tapi dari kicauannya, saya yakin, beberapa di
antaranya adalah jenis murai batu.
Setiap hari, terutama pagi menjelang siang, kicauan burung menggema dari teras rumah Sobari. Burung-burung itu seperti sedang kontes adu kicau. Setiap pagi, dengan telaten, Sobari menjemur burung-burungnya bergantian beserta kurungan-kurungannya di tepi jalan. Kadang digantungkan di dahan-dahan mangga. Kadang diletakkan begitu saja. Yang penting kena panas biar kicaunya tambah nyaring, kata Sobari pada suatu pagi.
Setiap
pagi pula, Sobari rajin mengeruk tahi burung dari dasar kurungan-kurungan itu,
lalu menumpahkannya ke selokan. Dan aroma tahi burung itu sering kali dibawa
angin dan bertamasya sampai ke kamar saya. Hingga pada waktu-waktu tertentu,
aroma pesing dan aroma tahi burung melebur jadi satu, bertamu ke kamar saya.
Membuat saya memanjatkan doa-doa buruk untuk para tetangga tak tahu diri di
seberang jalan sana.
Dua
orang ini tak punya wajah ramah meski kadang tetap tersenyum saat berpapasan.
Senyum yang datar dan hanya sekilas. Di depan kami, mereka tak banyak bicara,
tapi dari rumah kontrakan kami, kami melihat mereka semua begitu banyak bicara.
Pardi dengan istri dan anaknya. Sobari dengan burung-burung piaraannya. Adapun
hubungan Pardi dan Sobari ibarat sabun pencuci piring dengan lemak. Tak pernah
akur. Kadang kala, saat mereka sama-sama bersandingan di depan rumah –Pardi
menjemur kasur dan Sobari menjemur burung– mereka seperti menganggap satu sama
lain tak pernah ada. Sesekali mereka berdehem, hanya berdehem. Tak ada
kata-kata lebih. Tapi, begitu salah satu masuk rumah, yang lain akan segera
mengomel.
”Apa
guna piara burung, tahinya bau, ocehannya berisik, mengganggu tetangga,” ungkap
Pardi seperti bicara kepada dirinya sendiri.
”Setiap
hari kok ribut-ribut ngomelin bocah ngompol. Namanya juga bocah, diomelin kayak
apa pun tetap bocah. Saya yang dengar saja bosan,” seru Sobari, menyindir.
Entah
mereka sama-sama dengar atau tidak, yang jelas hal semacam itu terus
berlangsung dari waktu ke waktu. Pardi dan Sobari seperti tak pernah lelah
bermain ungkur-ungkuran. Setiap hari ada saja yang mereka ributkan. Suatu pagi,
seperti kebanyakan pagi yang lain, saat istri Pardi menyapu, ia menggerutu,
kenapa sampah-sampah daun mangga dari rumah Sobari selalu saja mengotori
halamannya. Sambil menggerutu begitu, istri Pardi menggiring kembali
sampah-sampah daun itu ke depan rumah Sobari. Tak berselang lama, setelah istri
Pardi masuk rumah, silih Sobari muncul mencangking sapu sambil bersungut-sungut
sebab depan rumahnya dipenuhi sampah, lalu Sobari kembali menebarkan
sampah-sampah itu ke depan rumah Pardi.
Pada
suatu sore, Pardi dan Sobari sengit terlibat adu mulut gara-gara perkara sampah
yang sama. Mereka seperti dua petarung bersenjata sapu yang telah siap menyapu
wajah satu sama lain. Mereka tak pernah keberatan jadi tontonan anak-anak
kecil. Pertengkaran itu lerai selepas warga datang dan memisahkan mereka.
Pertengkaran-pertengkaran
konyol macam itu bukan lagi hal baru bagi kami dan para tetangga yang lain.
Sampai suatu siang yang mendidih, sepulang dari rumah kerabat, Sobari memekik
histeris tersebab tiga burung piaraannya mati dalam kurungan, sementara empat
yang lain tak bisa lagi berkicau sebab seseorang telah memotong lidah
burung-burung itu. Tanpa banyak omong, Sobari melabrak Pardi, menggedor-gedor
pintu rumah Pardi seperti orang kerasukan. Pardi pun menanggapi. Adu jotos
antara orang-orang tua itu tak terhindarkan sampai warga melerai mereka. Sobari
bersikeras bahwa Pardi telah memotong lidah burung-burung piaraannya dan
membuat tiga di antaranya tewas. Pardi sendiri mengelak, menggertak balik
Sobari yang sudah menuduh orang tanpa bukti.
Menurut
Sobari, sehari sebelum kejadian, tepatnya tiga jam sebelum Sobari berangkat dan
menginap di rumah kerabatnya, Pardi berteriak-teriak, akan memotong lidah
burung-burung itu kalau burung-burung itu tidak berhenti mengoceh. Pardi sedang
sakit gigi. Ocehan istrinya yang cerewet itu sudah lebih dari cukup untuk
membuat kepala Pardi meledak lantaran gigi yang bengkak, ditambah lagi
burung-burung di sebelah rumah yang tak pernah berhenti berkicau. Pardi memang
mengaku, ia mengatakan itu semua, tapi ia tak pernah benar-benar berniat memotong
lidah binatang tak berdosa itu. Kalaupun ia ingin burung-burung itu berhenti
berkicau, ia bisa saja melepaskan burung-burung itu dari kurungannya, tanpa
harus repot-repot memotong lidahnya.
Perseteruan
itu berakhir dengan robohnya tubuh tua Sobari ke tanah. Siang itu juga Sobari
dilarikan ke rumah sakit dan petang harinya kami mendapat kabar bahwa Sobari
sudah tidak ada. Kerabat-kerabat jauh Sobari berdatangan. Sepasang rumah di
seberang jalan jadi ramai orang. Para tetangga yang melayat ke rumah Sobari
mengatakan bahwa Sobari terkena serangan jantung. Di antara kerumunan itu, kami
melihat Pardi dengan wajahnya yang murung penuh sesal. Meski tak ada yang
mengatakan bahwa penyebab kematian Sobari adalah Pardi, tapi wajah Pardi
sendiri menyiratkan kesan itu. Tiga hari berselang, rumah Pardi digembok oleh
kerabatnya dan dibiarkan sepi tanpa penghuni. Tak ada lagi burung-burung
bergelantungan di langit-langit teras. Tak ada lagi kicauan-kicauan kecil yang
memberisiki hari-hari. Yang ada hanya kesepian yang memagut. Dari hari ke hari,
kesan seram mulai merambati rumah itu. Meski di rumah sebelah,
keributan-keributan kecil tak pernah berakhir.
Dari
semua kejadian itu, hanya satu yang masih jadi pertanyaan orang-orang di
kerumunan: siapa sebenarnya yang sampai hati memotong lidah burung-burung tak
berdosa itu? Tak ada titik terang muncul. Lambat laun, pertanyaan itu menguap
digerus waktu. Sampai suatu malam, istri Pardi menangis sambil berlarian mendatangi
rumah tetangga. Ada cerita tak masuk akal yang disampaikannya kepada para
tetangga bahwa suaminya baru saja mengalami kecelakaan saat makan malam. Lelaki
itu tak sengaja menggigit lidahnya sendiri sampai hampir putus. Malam itu pula,
Pardi diusung ke rumah sakit. Bagaimana bisa, para tetangga bertanya. Dan istri
Pardi tak bisa menjelaskan sama sekali. Apakah sampai nyaris putus itu
benar-benar nyaris sampai putus, tanya orang-orang. Istri Pardi sendiri
bertanya-tanya: entahlah, bagaimana bisa seseorang tak sengaja menggigit
lidahnya sendiri sampai nyaris putus.
Hari-hari
berikutnya, Pardi jadi begitu pendiam sebab ada cedera parah di lidahnya
sehingga ia kesulitan berkata-kata, nyaris jadi bisu. Kejadian itu berlangsung
begitu saja. Seperti kejadian-kejadian lain yang bermacam-macam dan menjadi
kedaluwarsa untuk diperbincangkan. Rasanya, tak seorang pun selain saya
terpikir untuk menyangkutpautkan kejadian itu dengan kejadian di rumah Sobari
berbulan-bulan sebelumnya perihal burung-burung yang terpotong lidahnya.
Perihal burung-burung yang mati dan menjadi bisu.
Malam
itu, ketika Sobari menginap di rumah kerabatnya, pukul dua dini hari saya
mendengar keributan kecil dari seberang jalan. Semula saya mengabaikannya.
Namun, lambat laun suara ribut itu kian mengusik. Akhirnya saya mengintip dari
balik gorden. Dan di seberang sana, di bawah lampu jalan yang remang karena
lebatnya pohon mangga, saya melihat Pardi melompat keluar dari pagar rumah
Sobari. Satu tangannya menggenggam benda kecil serupa gunting entah catut.
Ketika itu, yang terlintas dalam benak saya adalah mungkin Pardi sedang
merencanakan keusilan yang lain untuk Sobari. Tak ada hubungannya dengan lidah
burung-burung. Entahlah.
Sampai
detik ini, saya belum pernah menceritakan kejadian itu kepada siapa pun. Dan
itu sudah lima belas tahun. Sudah sangat kedaluwarsa untuk diperbincangkan.
Murai batu di pekarangan rumah itu membuat saya bertanya-tanya: apakah sekarang Pardi masih hidup? Apakah lidahnya yang cedera itu sudah pulih? Lalu, bagaimana kabar burung-burung Sobari yang terpotong lidahnya itu? Apakah mereka semua akhirnya tewas? Ingin rasanya saya menangkap burung yang hinggap di dahan kenanga itu. Lalu memeriksa apakah lidahnya utuh atau tidak. Tapi begitu saya bergerak mendekat, burung itu terbang menghilang entah ke mana. (*)
1. Bentuklah kelompok dengan anggota 3 - 4 siswa!
2. Bacalah kedua cerpen tersebut dengan saksama!
3. Analisis dan diskusikanlah nilai-nilai kedua cerpen tersebut bersama kelompokmu!
4. Tulis hasil diskusi kelompok dengan format seperti ini!
Comments
Post a Comment