CATATAN DALAM NOVEL JATISABA

Catatan ini merupakan kelanjutan postingan sebelumnya, tentang kutipan-kutipan dalam novel Jatisaba. Ada 139 kutipan keren pada novel 241 halaman ini, yang saya bagi dalam beberapa kategori yakni: hal-hal menarik, kritik, estetika bahasa, penggambaran yang detail, nilai budaya, hal-hal lucu, serta quotes. Di samping itu ada pula 18 kelemahan yang perlu diperhatikan, yakni typo (salah ketik), kesalahan ejaan dan tanda baca, ketidaktepatan penggunaan diksi, pleonasme, perbandingan yang kurang sesuai, serta penjelasan yang kontradiktif 



A. Hal-hal menarik: 

  • Refleks perempuan ketika berdekatan dengan lelaki, selalu menganggap ada yang salah dan buruk dalam dirinya dan harus diperbaiki atau ditutupi. (7)
  • Kepayahan perempuan berikutnya: mudah terkesiap oleh barang-barang. (7)
  • Malam-malam tanpa angin begini, jika kau merasa ada sesuatu berembus di tubuhmu, maka itu adalah napas hantu (16)
  • Tidak ada tanda kehidupan yang mampu mereka pertahankan selain membuat dan melahirkan anak. (26)  
  • Mereka mencuri apa saja yang bisa mereka curi. Mereka tidak takut teguran. Jika dipukul mereka akan balas memukul. Mereka tidak mengenal trauma atau dosa. Mereka hanya harus makan ketika perut lapar. (26) 
  • Apa jadinya jika kampungku dipimpin seorang Jompro. Dia memang ahli, ahli anatomi tubuh perempuan. Sementara nalurinya adalah naluri seorang penjudi. (29)
  • Keong-keong yang dibuat makan bebek-bebek itu cuma semakin mengalotkan daging mereka, tidak membuat mereka bertelur.
  • Aku mengambil kalung emas ini dari leher Jom ketika dia orgasme. (37)
  • Ketika Yasinan, saat tuan rumah menyediakan lontong opor, maka Yasin dibaca dibaca begitu keras. Daftar orang-orang yang dibacakan menjadi sangat panjang. Pohon-pohon di halaman didoakan semoga cepat berbuah, bebek-bebek didoakan semoga cepat bertelur, anak-anak mendapat nilai sembilan di rapornya. Hal ini membuat orang-orang yang hanya mampu menyuguhkan kacang rebus, manggleng, atau kamir lama-lama tidak menyukai yasinan. (43)
  • Mereka tak pernah membayar utang. Kalau datang ke rumah selalu minta makan. Aku jadi enggan bertemu mereka. Apalah arti saudara kalau membawa penderitaan. (46)
  • Mereka baik dan berbudi, tetapi hanya bisa diam. Sepenuhnya dikendalikan oleh masa lalu dan tradisi mereka. (57)
  • Aku semakin merasa diikuti sehingga tak ada jalan lain kecuali Lari. Padahal jika lari, ketakutan semakin dan akan sepenuhnya mengendalikan kita. (61)
  • Orang yang melarat akan benci sama orang yang sukses. Apalagi kalau mereka bersaudara. (63)
  • Ternyata begini rasanya menyimpan dosa di tengah pujian orang. Sekarang aku mengerti mengapa penguasa menjadi mudah linglung dan putus asa. Itu adalah tumpukan rasa tidak nyaman karena ketundukan beribu orang kepada diri yang diam-diam menyadari ketidakwarasannya. (67)
  • Pemuda-pemuda desa bertelanjang dada. Mereka kuat dan sederhana. Menjalani hidup dengan pilihan-pilihan mudah atau dimudahkan oleh mereka sendiri. Jika lapar mereka nawu, jika haus mereka ke sumur, jika birahi mereka memilih istri, jika punya anak mereka jadi kuli bangunan, jika kurang beras mereka mbawon, jika sakit mereka siap mati. Hidup sangat gampang bukan? (70)
  • Penari-penari seperti Musri dibutuhkan untuk ditertawakan. Penonton memperoleh kepuasan ketika berhasil mempermalukan Musri di depan umum. Mungkin seorang lelaki tua akan mengomentari perut Musri yang berkerut-kerut setelah melahirkan. Yang lain menghitung jumlah bekas luka atau gudhik di kaki Musri. Sementara yang lain akan menampari wajah Musri yang tak berdaya. (84)
  • Dunia bagi Gebog kemudian hanya akan menjadi dua hal: ditindih lelaki dan keinginan untuk mati. (85)
  • Sanis mencubit Kolik tepat di bagian pinggang samping ketika anak itu merangsek di pangkuannya. Daerah paling sensitif untuk sebuah cubitan. (88)
  • Ada banyak sesajen lain yang tidak manusiawi. Artinya, manusia biasa tidak mungkin memakannya. Ada dedak, bola lampu, arang berbara, damen, dan barang-barang yang tidak dikenal sebagai makanan lainnya. Hanya manusia yang terpecah jiwanya, yang dikuasai kekuatan-kekuatan gaib yang menganggap itu enak dimakan. Atau sebenarnya mereka menganggap tidak enak, tetapi dipaksa oleh kekuatan yang lebih digdaya lagi. (90) 
  • Mereka sengaja menggunakan orang-orang bodoh untuk melakukan hal-hal bodoh. (99)
  • Ketika aku jadi TKI, aku lupa bagaimana rasanya jadi manusia. (101)
  • Orang desa sepertiku ini hanya memiliki satu modal hidup: kepercayaan (102)
  • Apa yang diceritakan oleh TKI-TKI di desa, tentang betapa indah dan senangnya bekerja di luar negeri, itu semua bohong. Mereka menyembunyikan sejuta penderitaan. (102)    
  • Setiap langkah kaki mereka dalam membantu kami akan dihitung menjadi lembaran ringgit. (104)
  • Jangan melakukan sesuatu karena ikhlas atau semangat pengabdian kepada orang seperti dia. (112)
  • Saudara-saudaranya memilih menghindari Jompro daripada membahayakan diri berada di dekatnya. Jadi, hanya dua tempat aman di dekat Jompro, menjadi kacung atau orang asing. (112) 
  • Betapa susahnya memuji barang jelek. Kacung harusnya dibayar mahal untuk keahlian seperti itu. Sayangnya, kepayahan itu hanya demi bertahan untuk menjadi kacung dan sedikit keuntungan. Tampak sangat menyedihkan memang. Namun lebih menyedihkan bagi majikan yang benar-benar tersanjung karenanya. (113)
  • Dari sebelas ibu-ibu ini, hampir semuanya KTP-nya kedaluwarsa. Demikian pula kartu keluarganya. Ada yang hilang, ada yang bilang dibawa anak, ada yang bertanya, "Apa itu kartu keluarga?" (114) 
  • Raskin di kampungku harus dibagi rata. Pernah suatu ketika, beberapa orang yang dianggap mampu tidak diberi raskin itu. Dan mengamuklah mereka. Sementara jika beberapa orang yang menerima kupon tidak mengambilnya karena merasa akan merebut jatah orang yang lebih membutuhkan, maka mereka akan digunjingkan sebagai orang yang sombong. (120)
  • Beras itu sudah berulat kutu. Beberapa orang benar-benar memakannya, karena mereka memang miskin dan tak punya beras. (121)
  • Ketua juga meminta uang untuk mengadakan perlombaan Agustus, pentas seni, uang darmawisata yang aku tahu masuk ke saku masing-masing. Ada pula wakil dari desa antah berantah meminta sumbangan pembangunan masjid, ada lagi minta sumbangan untuk anak panti asuhan. Mardi (calon kades) tak bisa berkata tidak. Walaupun sebetulnya tak ada keuntungan yang diperoleh dari orang-orang tak jelas itu. (120)
  • "Memangnya penting legal atau tidak? Kalian mengklaim kelegalan hanya dengan kertas berlembar-lembar, cap, pasal-pasal, dan materai. (128) 
  • Kita dikaitkan semata-mata karena uang. Jadi tidak boleh ada pembicaraan kecuali masalah uang dan pekerjaan. (138)
  • Ada gatot, makanan dari singkong yang sengaja dibusukkan. Ada gorengan gadung yang dibuat dari tumbuhan jalar beracun. Ada juga becek lumbu, tumbuhan yang tumbuh subur di genangan air limbah atau paceran. Itulah makanan orang Jatisaba. Mereka menyukai sedikit racun, sedikit kebusukan, sedikit serbuk gatal, dan sedikit reaksi kimia membahayakan. (142)
  • Cuma itu yang bisa dilakukan Sanis untuk bertahan hidup. Menggali semak-semak, menelusuri pekarangan, mencari-cari tanaman liar, dan berjudi dengan kematian ketika memakannya. Dia hanya meniup makanan-makanan itu dan berkata, "Lunga nganah sedaya upas lan memala!" (156)
  • Setelah Sanis rajin membelah ketapang, tak ada orang yang mau melakukannya. Mereka takut dikatakan mirip dengan Sanis, (156).
  • Pekerjaannya adalah memanfaatkan keputusasaan seseorang dan menjadikan keputusasaan sebagai kehidupan itu sendiri. (157)
  • Mungkin inilah pencapaian tertinggi dalam hidupnya; berkeluarga, hidup sederhana, dan punya anak. Jika itu sudah terpenuhi, tidak ada lagi yang perlu dijaga, tidak ada lagi yang harus ditawarkan--tak lagi merawat tubuh (165) 
  • Keluarga Musri dan Juh betul-betul satu darah, kakak beradik, sepupu kandung. Namun  itu berlaku ketika mereka masih sama merangkak dan belum tahu apa-apa.  Tapi setelah mulai melihat dunia, diawali hal-hal sepele, dan puncaknya ada peristiwa besar, maka jika Juh sekeluarga mengatakan iya, Musri sekeluarga mengatakan tidak. Tak peduli mana yang benar atau salah. (166) 
  • Makanan melimpah ruah. Setiap pagi, ibu-ibu yang bekerja di sana menyapu berpuluh-puluh apam yang tercampak di halaman dan berbaskom-baskom kacang rebus basi. (171)
  • Beberapa orang ternama minta dibuatkan satai kuda atau kuda guling. (171)
  • Mereka telah melupakan kematian Pontu. Tidak ada lagi raut berduka sedikit pun di wajahnya. Lagi pula, Pontu itu siapa? (200)
  • Kesaktian para ninja terpusat ke atributnya. Terutama ikat pinggang (201)
  • Perjalanan Pilkades di Jatisaba adalah perjalanan pelanggaran pemilihan itu sendiri. Money politic terang-terangan, propaganda di tempat umum dan ibadah, kampanye sebelum waktunya, serangan fajar, intimidasi, atribut di area pemilihan, nepotisme, korupsi. Semua pelanggaran adalah jalan proses pemilu itu sendiri. Apa lagi yang mau diawasai? (202) 
  • Kukeluarkan uang dua puluh ribu dan kuselipkan di tangannya dengan cepat. Seketika itu juga ia mengangguk dan lancar sekali ketika kusuruh mengulang kalimat yang barusan aku instruksikan. Betapa saktinya uang. (207)
  • Yang dipikirkan bukanlah menghindari, tetapi bagaimana bertahan dan menyelamatkan diri. (223)
  • Jom dan Mardi sudah mencapai kesepakatan damai dengan Joko. Mardi mendapatkan beberapa mesin penggilingan dan perontok padi, sementara Jom mendapat satu dua petak tanah untuk sekadar arena menyabung ayam atau menanggap ronggeng. (238)
  • Pilkades telah cepat dilupakan. Mungkin hanya kaus plastik berkilat-kilat dengan gambar padi atau singkong yang tersisa dari riuhnya pilkades. Kaus yang dipakaikan kepada hantu-hantuan di sawah untuk mengusir burung (238)  


B. Kritik:

  • Melihat kepalanya yang nyaris botak dan pakaian safarinya yang kekecilan mengingatkaku pada pegawai-pegawai di desa atau kecamatan. Perutnya tampak mlembung. Dan ada Cartier di pergelangan tangannya. Cuma pegawai korupsi yang bisa membelinya. (7)  
  • Jalan yang berlubang dan bergelombang menjadi identitas kedua kampungku. (8)
  • Bendera partai berkibar-kibar di atas pohon kelapa, di bawahnya gubuk reyot. (9)
  • Bus yang aku tumpangi hanya melintasi terminal tanpa berhenti. Hingga rusak, terminal itu tidak pernah digunakan. (10)
  • Letak Warung yang sudah ada sejak tahun 1980-an ini di belakang kuburan. Warung selalu ramai orang. Terutama tukang ojek, penjual ayam, juragan beras, dan beberapa pejabat desa. Yang lebih eksklusif, di salah satu bilik warung Sitar tersedia beberapa meja bagi yang ingin berjudi. Dan di balik rimbunnya dagangan, berbagai merek minuman keras murahan juga sudah disiapkan. Bahkan, anak Sitar menerima order mengoplos minuman-minuman itu. Sitar juga mempunyai anak perempuan yang pendiam tapi gampang senyum. Digoda senyum, dicolek senyum, diculik mungkin tetap senyum. Bagaimana bisnisnya tidak maju? (24)
  • Sang suami menjadi calon kades, sang istri mendirikan lembaga pengawasan dan pengaduan. Mereka bebas berkampanye dan mendapatkan informasi. (50)
  • "Jangan biarkan kita memilih pemimpin kafir. Artinya kita juga tak beda dengan pemimpin itu. Apakah kita rela diazab Allah?" katanya di tengah acara Yasinan.
  • "Lha wong pemimpin kita kafirnya sembunyi-sembunyi. Masa kita yang nggak tahu ikut menanggungnya," celetuk seorang ibu. (51)
  • ... Beberapa nelayan besar bekerja sama dengan pemerintah memonopoli proses pencarian dan penangkapan ikan. Tidak boleh ada nelayan lain. ... (136)
  • Pantai ini belum terekspos banyak orang. Pantai ini dibiarkan tersembunyi, tidak diiklankan meski mereka berlomba-lomba membangun resor murah. Oleh karena mereka kaya, mereka mau keberadaan asetnya di pantai ini menjadi eksklusif, terhindar dari orang-orang jembel dan tim investigasi keuangan negara. (137)
  • Hanya karena aku adalah indon, tubuhku tak lebih berharga daripada keset di rumahnya. (157)


C. Estetika:

  • Lidah Sitas selalu mendahului otaknya. Dan otaknya terlalu kecil untuk mengingat-ingat apa yang baru saja dikatakan. (13)
  • Semakin tua, waktu menjadi seperti kereta listrik, tidak memberi kesempatan sedikit pun untuk melihat keindahan, dan akan menghancurkan jika kita melawannya. Atau seperti gerobak lembu, yang menahan kita dalam kubangan kenangan penuh lumpur. (15)
  • Kalau mendengar orang mengaji, aku jadi ingat Gao, sebelum kemudian juga ingat Tuhan. (16)
  • Ibu sedang merasakan euforia bunga euphorbia. (18)
  • Aku butuh uang secepatnya. Aku butuh biaya berdusta. (31)
  • Kantor pos ini seperti mewakili masa lalu yang renta. (33)
  • Jompro cepat sekali selesai sementara aku baru hendak menggonggong. (36)
  • Berita kedatanganku pasti sudah didengar. Sitas menyebarkannya lebih cepat daripada angin. (43)
  • Aku benci mendengar kalimat 'bawalah anakku ke kota'. Mereka tak memahami, kalimat itu seperti putusan vonis mati bagiku. Kalimat yang membawaku serta ke neraka dengan segunung rasa bersalah abadi. (44)
  • Dia iblis yang selalu tersenyum. Semanis apa pun senyumnya, dia itu iblis (72)
  • Kepada orang lain Malim bisa berbicara dengan apa saja, termasuk dengan belati yang selalu disembunyikan di paha kirinya. (73)  
  • Tak ada pembicaraan, hanya beberapa mata minta dimaknai. (97)
  • Dengan kepala merunduk dan rahang menonjol ke depan, dia seperti photecanthropus. (98) 
  • Sitas memarahi suaminya. Di hadapannya, Pontu adalah anjing yang lemah. Anjing yang duduk di gerbang, kedinginan dengan tubuh penuh koreng. Anjing seperti itu harus menyediakan diri untuk ditendang majikannya. (99)
  • Betul-betul, di kampung ini, angin mempunyai mulut. Dinding-dinding bertelinga. (104)
  • Demam voli hanya terasa beberapa minggu. Setelah itu padam tak berabu. (121)
  • Awae pulang dengan tiga kilo beras di tangan. Tangannya yang kurus tampak mau patah ketika membawa beras itu. (123)
  • Enggan rasanya menyampaikan sesuatu yang besar melalui kata-kata yang tak pernah sempurna melukiskannya. (140)
  • Sekarang dagingnya seolah menipis diterjang angin sawah. (158) 
  • Aku menjawab pertanyaan Sanis sambil menelan ludah pahit kebohongan. (160)
  • Kata-katanya meluncur seperti remah-remah kue sagon yang muncrat dari mulut ketika kita memakannya sambil bicara. (167).
  • Dulu kita masih kecil, Mae. Semua tampak indah tanpa masalah. Begitu sudah menjadi ibu, kulit keindahan dunia terkoyak, dan tampaklah borok-borok tersembunyi. (168) 
  • Sesekali tampak petir berkilat, timbul tenggelam di antara domba-domba langit yang kelabu itu (170)
  • Kami tersentak oleh azan subuh yang memekik kencang dari toa musala rapuh ... (181)
  • Orang-orang yang melayat berdiri menyandar ke dinding. Menonton keharuan mereka seperti menonton opera tragedi (189)
  • Hal-hal kecil di masa lalu terasa sangat indah dan berarti bagiku. Apalagi ketika kubandingkan dengan hal-hal besar yang menimpaku. Hal-hal besar yang memperkosaku, mengibliskanku, melacurkanku.  (197) 
  • Debu-debu yang beterbangan tertangkap oleh tombak-tombak cahaya itu (198)
  • Tatapannya begitu tajam. Seperti tatapan anak kecil kepada penculik. (203) 
  • Dia seperti pendekar pada masa lalu. (224)


D. Detail:

  • ... jawabku sambil melirik ke salah satu pemuda yang dadanya kotak-kotak seperti tahu dijejer. (73)
  • ... janda-janda dengan tanktop kuning... (87)
  • ... ada Bangkring dan adik-adik Musri yang hilir mudik meminta uang. (88) 
  • Sanis mencubit Kolik tepat di bagian pinggang samping ketika anak itu merangsek di pangkuannya. Daerah paling sensitif untuk sebuah cubitan. (88)
  • Kolik mengangguk, menerima uang dariku, menyedot ingus, dan mengelap matanya yang basah. (88)
  • Sitas mengumpat sambil menunjukkan dadanya yang penuh pulau-pulau putih panu (103)
  • Bagian menarik dari kamar ini adalah lubang di antara bambu-bambu penyangga dinding. Di lubang itu Musri menyimpan uang tabungannya, dan beberapa manik-manik tak penting. Ada juga selembar poster besar yang ditempel untuk menutupi kepang yang sudah rapuh dan berlubang. Poster tiga orang bintang film India, Sakhrukh Khan, Amir Khan, dan Salman Khan. Selain lubang itu dan poster, kamar ini sepenuhnya menyedihkan. Udaranya lembab, campuran antara tanah basah, jamus kayu, dan bau tikus atau kencing kucing. Tidak ada debu karena semuanya sudah menyatu dalam kekotoran menjadi debu itu sendiri. (150)
  • Ia mengelap tangannya yang penuh lumpur ke rok lipit yang sudah hilang motifnya. (158)
  • Ia mengenakan kemeja kumal bekas baju sekolah anak SMA yang masih ada lambang OSIS di dadanya. Sementara rok yang digunakan sudah sobek di sana-sini. Seperti bendera pawai atau poster calon bupati penuh lubang dan kotor yang melintang di jalanan. (158)
  • Yang khas dari Besuk dan tidak akan berubah adalah bibirnya yang mencang-mencong kalau bicara dan ludah yang muncrat-muncrat setiap kali pembicaraannya menjadi serius atau menggebu-gebu. (162)
  • ... kami ikut menikmati makanan di nampan dan mengunyah pao-pao sampai mulut linu. (162)
  • "Tapi, apa aku tak kegemukan?" jawabnya sambil memencet perutnya yang lebih penuh daripada buah dadanya. (163) 
  • Dari dekat, aku bisa memperhatikan tangannya yang kasar dengan pembuluh darah yang timbul di sana-sini. (204)
  • Awae menatapku. Matanya masih bengkak oleh air mata, tetapi mulutnya penuh dengan roti gaplek sumbangan dan tangannya memegang es teh dalam plastik. (207)
  • Sebagian sisi ruang tamu penuh dengan perlengkapan ebeg Jayeng Wisesa. Bau minyak tanah menguasai ruangan. (214)
  • Dia sempat menatapku setengah kagum... Dua anak kecil mengikuti ke mana saja si ibu bergerak (214)
  • Gao membenamkan wajahnya di lipatan dadaku yang tak seberapa. (220)


E. Budaya:

  • Ketika musim kemarau datang, anak-anak berlari-lari di atas kuburan menerbangkan layang-layang. Orang tua menjemur pakaian di atas kijing dan menanam singkong di sela-selanya. Mereka meyakini, mayat manusia adalah pupuk terbaik.
  • Orang desa selalu takut dengan undang-undang dan segala aturan.
  • Ibu-ibu menceritakan berita bahagia tetangganya dengan penuh kata "jangan-jangan" dan berita musibah dengan banyak kata "gara-gara" (40)
  • Sebagian besar berbisik-bisik, kemudian mengangguk-angguk, dan tersenyum manis ketika aku menatap mereka. (48)
  • Dulu setiap sore aku mengaji. Membaca iqra' sambil mengunyah permen. Da tidak dimarahi. (57)
  • "Kenapa Pak Mardi duduk di tikar, Mbah?" tanyaku
  • "Mereka itu tuan rumah. Harus prihatin."
  • Mardi mengetes mikrofon sambil mengernyitkan dahi kepanasan. "Smilarohmanirohim, salamungalaikumwaroh..... dst. (91)
  • Yang boleh membawa nini cowong hanya nenek-nenek yang sudah tidak lagi kotor. (125)
  • Kampungku jaun dari mal atau sekadar toko ritel modern. Yang ada hanyalah beberapa petak tanah tempat pedagang bergerombol yang kemudian disebut pasasr. (141)
  • Orang Jatisaba tidak boleh menikah dengan orang Ayamalas (145).
  • Perempuan-perempuan Tiban selalu terbangun dengan dada kendur yang terlempar ke sana ke mari tanpa memakai bra. (146)
  • Di sini (Jatisaba) tidak ada rahasia. Tidak ada satu hal pun yang bukan informasi. Semua menjadi penting. Semua harus diinformasikan. (169)
  • Aku rindu suasana di sini. Jalan-jalan sehabis salat subuh saat bulan puasa dulu. (177)
  • Tetangga yang datang mengambil peran masing-masing tanpa ada koordinasi berarti. Ada yang menyiapkan minum, mencari bunga, membuat keranda, menyiapkan air mandi dan kafan... (186) 
  • ... tanyaku sambil menyeruput kopi panas yang encer. (188)
  • Di Jatisaba, kalau ada orang kawinan dan pesta meriah, orang lain akan rela berutang demi memberikan sumbangan yang layak, yang banyak. Tapi giliran ada orang meninggal, mereka sibuk mencari lembaran-lembaran ribuan yang paling kumal dan jelek untuk disumbangkan. (189)
  • Memberi uang secara diam-diam sebelum pemilihan itu dilarang. Memberi uang setelah pemilihan secara bersama-sama dan terang-terangan itu sah. Amplop itu berisi uang terima kasih karena telah berpartisipasi. (201)
  • Sering kali, para pemberi uang itu gadis-gadis cantik yang dipilih sendiri oleh para calon. Gadis-gadis bertangan halus. (201)
  • Aku menyiapkan beberapa baju dan tanah dari halamanku. (224)
  • Dalam hal memberi nama, orang dulu lebih praktis dan jelas. Berilah bayimu nama sehingga orang mudah mengingat dan mengenalnya. (14)
  • Orang Jatisaba yang berasal dari daerah lain kami sebut orang Tiban, orang-orang yang bisa menyuguhkan lontong sayur dalam acara yasinan. Walau kami segan dan menunduk-nunduk hormat jika berpapasan, tapi wong Tiban paling tampak celanya bagi kami. Keluargaku termasuk wong Tiban. Waktu keluargaku mengadakan tasyakuran khitan adikku, mereka menuduh masakan kami terlalu pedas sehingga kampung terkena wabah diare seketika. Padahal tanpa sepengetahuan kami, mereka mengambil lauk dan sayur berkuali-kuali tanpa sepengetahuan kami. (92)


F. Hal-hal lucu:

  • Adikku menyimpan kertas ulangannya dengan nilai jelek di langit-langit rumah selama tiga tahun lebih. Suatu ketika ada kucing berlalri-lari di atasnya, membuat langit-langit jebol, dan kami ditimpa hujan kertas ulangan bernilai dua.
  • Dialog nakal:
  • "Masih ingat aku kan?" kataku sambil duduk di sebelahnya.
  • "Tentu, aku tidak mungkin lupa. Kau semakin cantik."
  • "Tapi, kau semakin tua," jawaku.
  • Dia seperti tak rela kehilangan kedudukannya. Padahal duduk saja sudah tidak bisa.
  • Ibuku memberi julukan kepada beberapa lelaki yang pekerjaannya hanya menerbangkan burung dara sebagai "pekerja maskapai penerbangan merpati" (40)
  • Itu ide dan pekerjaan ayahku. Apa pun yang dipegangnya selalu mati. (70)

  • Pembukaan dari Mardi lamanya hampir sepanjang satu tembang ricik-ricik. Suaranya menggumam, aku tak dapat mendengar dengan jelas. Hanya berulang kali kata gusti dan muhammad yang nyaring di telingaku. (91) 


G. Quotes:

  • Desa membuat orang mudah menjadi tua.
  • Hal terbaik menutupi kecemasan adalah berpura-pura sibuk atau sedikit marah atau ogah-ogahan sekalian.
  • Seringkali kita meninggalkan cinta untuk menemukan jodoh. Cinta adalah kail yang terlempar jauh ke sebuah sawah yang kering kerontang. (41)
  • Percayalah, manusia memiliki bakat alami berbohong yang hebat. (54)
  • Kenangan bisa menggerakkan seseorang menjadi begitu kejam. (86)
  • Kau tidak bisa setia pada siapa pun kecuali uang. Itu pun bukan kesetiaan, kau diperbudak uang. (105)
  • Sifat kacung yang selalu memuji tidaklah berarti dia betul-betul menyenangkan. Itu bagian dari pekerjaan. (113)
  • Kenangan adalah kehilangan terbesar (117)
  • Kenikmatan dari perpisahan justru ada pada ketidakrelaan kita untuk pergi. (227)


H. Kelemahan:

  • Penulisan merkseharusnya merek
  • Ada kontradiksi penjelasan antara pemberian nama yang mudah diingat (hlm. 14) dengan kutipan 'mereka miskin dan tidak bernama. Sebab sampai aku pergi, yang aku tahu mereka biasa dipanggil pantek, mijong, ateng, ...' (hlm. 26)
  • Penulisan kata sapaan "Aku butuh biaya berdusta Mayor" yang seharusnya diberi tanda koma sebelum sapaan. Seharusnya "Aku butuh biaya berdusta, Mayor"
  • Kontradiksi antara 'Mereka tidak takut teguran' dengan 'orang desa selalu takut dengan undang-undang dan segala aturan'.
  • Gejala pleonasme pada kutipan 'kalimat itu seperti putusan vonis mati bagiku'. (44)
  • Typo di catatan kaki pada kata laying-layang (58)
  • Kesalaha ejaan pada kata di peroleh (dipisah) yang seharusnya diperoleh (digabung) karena di sebagai awalan, bukan kata depan (58)
  • Dialog panjang dalam bahasa Jawa yang sebenarnya tidak memiliki kekuatan makna atau membangun cerita. Apalagi dialog itu diterjemahan di catatan kaki (61)
  • Diksi yang kurang tepat pada kutipan 'ampasnya agak anyir'. Sebab, anyir digunakan untuk menyebut aroma tidak enak karena ikan atau darah (69)
  • Perbandingan yang kurang tepat pada kutipan 'jawabku sambil melirik ke salah satu pemuda yang dadanya kotak-kotak seperti tahu dijejer'. Di sini terjadi kesilapan antara menyebut dada atau perut. Dada yang kotak-kotak seperti tahu dijejer lebih tepat ditujukan untuk perut sixpack. (73) 
  • Penggambaran perasaan yang kurang sesuai pada kutipan 'Tangan Sitas sudah bersiap mendarat di kepala Awae seandainya anak itu tak cepat lari menghindar. Aku terharu melihatnya.' Terharu menunjukkan perasaan iba karena kebahagiaan atau kebanggaan, sementara kutipan menunjukkan suasana kemarahan. Mestinya kata yang digunakan adalah tak tega. (124)
  • Malim berkata-kata dengan tenang sambil memperhatikan ombak yang berkejar-kejaran. (139) Tidak ada yang salah, kecuali penggunaan ungkapan klise.
  • ... curingan di bawa pulang, seharusnya dibawa (154)
  • Pleonasme pada kutipan 'Air kapur itu akan dibasuhkan kepada semua anak-anak' (162) 
  • Pleonasme pada kutipan 'beberapa ibu-ibu' (171, 174)
  • typo pada kata kepada yang seharusnya kepala (181) 
  • Dibelakang, tampak Mardi... seharusnya di belakang (208)

Comments

Popular posts from this blog

Analisis Isi dan Kebahasaan Novel "Jatisaba" Karya Ramayda Akmal

Ulasan Cerpen "PAK SARKAM", karya Achdiat K. Mihardja

JATISABA: Keindahan Cerita di Balik Ketidakselarasan Desa