Analisis Isi dan Kebahasaan Novel "Jatisaba" Karya Ramayda Akmal

 



Judul                  : Jatisaba
Pengarang          : Ramayda Akmal
Penerbit              : Grasindo
Tahun terbit        : 2017
Jumlah halaman : viii + 241

 Sinopsis

“Jatisaba” mengisahkan kerinduan seorang wanita muda pada kampung halamannya setelah sepuluh tahun merantau sebagai TKW di luar negeri. Keinginan itu menjadi tidak mudah karena Mae, wanita itu, terperangkap dalam sindikat perdagangan wanita. Ia boleh pulang, bahkan tak perlu kembali, asal bisa membawa wanita-wanita lain sebagai pengganti. Padahal Mae tahu, masa depan wanita-wanita yang dikirimnya bisa sangat gelap, bahkan hancur di negeri orang. 

Di luar negeri, para TKW sangat rentan terhadap berbagai kekerasan, pelecehan seksual, dan yang paling buruk diperjualbelikan organ tubuhnya. Mae tahu itu. Hati kecilnya pun tak tega mengkhianati saudara-saudara sedusunnya yang lugu-lugu. Namun sebagai manusia biasa, keselamatan dan kebahagiaan diri sendiri jelas lebih diperjuangkan.

Mae datang menjelang Jatisaba, kampung halamannya, menggelar Pilkades. Keadaan ini membuat tugasnya sedikit lebih mudah. Dari waktu ke waktu, pesta demokrasi tingkat desa ini selalu menciptakan ketidaktenangan warga. Mulai masa kampanye hingga pemungutan suara, berbagai fitnah dan intimidasi yang dilakukan para botoh (tim sukses calon kades) dan pendukungnya berseliweran meneror warga. Kondisi keruh ini dimanfaatkan Mae untuk merayu mereka. Faktor kemiskinan, rendahnya pendidikan, serta cerita sukses para TKI/TKW membuat rencana ini berjalan cukup mulus. Mae tinggal meyakinkan bahwa kabar miring tentang organ tubuh yang diperjualbelikan adalah tidak benar.

Usaha ini berhasil meyakinkan 15 perempuan dusunnya. Segala hal yang memberatkan perasaan dengan terpaksa ia singkirkan. Apalagi ia tak mampu melupakan Gao, cinta pertamanya, meski lelaki itu sudah beranak istri. Gao menjadi alasan lain bagi Mae untuk tega berbuat durjana. 

Malam itu, di tengah derasnya hujan, suara-suara letusan, dan asap sisa kobaran api yang membakar beberapa rumah akibat kerusuhan pilkades, Mae berhasil membawa para wanita keluar desa. Di sebuah terminal, setelah ia merasa urusannya beres, sesosok pria mendatanginya dengan ramah. Rupanya pria itu polisi yang sudah cukup lama mengintai sindikat perdagangan manusia yang dilakukan kelompok Mae. Ia mendapat banyak informasi dari Sitas, perempuan culas yang rumahnya ditumpangi Mae selama kepulangannya. Sitas sendiri sebenarnya berstatus tahanan luar karena kasus pembunuhan majikan saat ia menjadi TKW dulu.


Tema

Novel ini bertema kerinduan seorang TKW muda pada kampung halamannya. Namun keinginannya itu tak semudah yang dibayangkan karena ia tersandera sindikat perdagangan wanita.

Ulasan

Tema ini sangat menarik karena pembaca disuguhi sisi kelam pekerja migran yang jarang terekspos dalam pemberitaan. Padahal, dari waktu ke waktu masalah ini masih terjadi. Beberapa kali muncul berita nestapa tentang TKI/TKW yang mendapat perlakuan tidak manusiawi, bahkan hukuman mati di negara tempatnya bekerja. Mereka yang dituntut kebanyakan karena membela diri dari berbagai pelecehan yang dilakukan sang majikan. 


Tokoh dan Penokohan

Seperti novel pada umumnya, ada banyak tokoh yang mengisi cerita. Namun dari semuanya, ada tiga tokoh utama yang perlu dibahas. 

Mae 

Mae atau Maimunah adalah protagonis utama, sumber dari keseluruhan cerita. Secara lahir Mae digambarkan sebagai gadis cantik yang dibesarkan keluarga tak beruntung. Untuk mengubah nasib, ia menjadi TKW di luar negeri. Sialnya, kecantikan itu membuatnya dipaksa menjadi wanita penghibur. Gara-gara ini, ia jadi terbiasa menjalani kehidupan bebas dengan berbagai laki-laki, tanpa melibatkan perasaan. Namun saat bertemu Gao, rasa gugup dan gemetaran tanda cinta masih muncul, bahkan meski ia tahu Gao sudah berumah tangga. 

Watak lain Mae adalah bimbang. Kebimbangan inilah yang menjadi konflik utama cerita. Di satu sisi ia harus membela kepentingannya sendiri, di sisi lain ia sangat berat dan kasihan mengajak wanita dusunnya menjadi TKW.

Sitas 

Saat Mae pulang, ia tinggal di rumah Sitas. Rumahnya sendiri sudah dijual bapaknya yang menurut Mae tak pernah berhenti menyusahkan keluarganya, bahkan setelah meninggal. Meski rumah Sitas ditumpangi Mae, perempuan ini justru menjadi tokoh antagonis. 

Sitas berwatak culas, tak pernah melakukan atau memberi sesuatu tanpa meminta imbalan yang jauh lebih besar, suka mencacat orang, bermulut pedas dan tajam, semena-mena kepada suami, jorok, dan yang paling menonjol adalah mampu berkhianat. Selama Mae di rumahnya—yang tidak gratisan—segala tindak tanduk Mae diamati dan diinformasikan pada polisi yang di akhir cerita menangkap Mae. 

Gao 

Gao adalah cinta pertama dan satu-satunya Mae. Gao menjadi salah satu alasan Mae ingin pulang kampung. Lelaki ini bertubuh tinggi, besar, dan kekar. Sehari-hari ia bekerja sebagai pencari rumput atau menjadi pekerja serabutan. Gao juga dikenal sebagai pemain kuda lumping penolak hujan. 

Meski juga mencintai dan melindungi Mae, sejatinya Gao sanggup mengkhianati dan berbuat semena-mena kepada anak istrinya. Hal ini terbukti saat ia mengajak Mae ke rumahnya, kemudian membawanya ke gubuk kosong di tengah sawah untuk melakukan perbuatan intim. 

Ulasan

Tokoh dan penokohan dalam cerita ini tampak begitu nyata, manusiawi, dan tak terlihat dibuat-buat. Sosok Mae yang seperti berkepribadian ganda sangat masuk akal. Ia berubah dari seorang gadis desa yang lugu menjadi wanita liar karena "balas dendam" atas penderitaan yang dialaminya selama menjadi TKW. Ia sanggup melakukan itu karena menganggap dirinya telanjur nista. 

Meskipun demikian, sisi-sisi humanisnya tak benar-benar hilang. Mae masih sering menangis saat memikirkan dirinya sendiri serta wanita-wanita yang akan dikirimnya, yang sangat mungkin akan mengalami nasib setragis dirinya. Mae juga dermawan pada orang-orang desanya yang rata-rata melarat.    

Sitas pun demikian. Penggambarannya wajar dan masuk akal. Ia mewakili karakter manusia jahat dan culas, yang selalu ada di mana-mana. Sedikit kelemahan dari pengambaran watak Sitas adalah sikapnya yang tidak berubah, bahkan terkesan berlebihan pada suaminya. Ia tetap enteng membentak-bentak dan menganjing-anjingkan suaminya meski pernah dijebloskan ke penjara. Padahal orang yang pernah dibui biasanya malu dan menyesal, sementara Sitas tidak.

Jika berbicara tentang cinta itu buta, Gao yang digambarkan sebagai pencari rumput, tenaga serabutan, dan kurang pendidikan namun tetap berani mencintai wanita kaya juga bisa diterima. Apalagi jika wanita kaya itu dulu cinta pertamanya dan masih meresponsnya. 


Latar

a) Tempat

Novel ini mengambil latar di sebuah desa yang bernama Jatisaba. Google menjelaskan bahwa Jatisaba berada di kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah. Artinya, tempat dalam novel ini bukan fiktif. 

sumber: https://www.arifsae.com 
  
b) Waktu
Waktu dalam novel ini tidak dijelaskan secara spesifik. Namun harga barang-barang dalam cerita yang tidak berbeda jauh dengan harga sekarang memberi kesimpulan bahwa latar waktunya tidak terlalu jauh dari saat ini. 
Bisa pula disimpulkan bahwa latar waktu dalam novel ini yakni pada masa pilkades
.
c) Suasana
Novel ini diawali suasana romantisme masa lalu, ketika Mae dalam perjalanan pulang kembali ke kampung halamannya dan merasakan suasana yang tak banyak berubah. Kampungnya tetap kering, miskin, jalannya berlubang-lubang, dan seperti tak tersentuh pembangunan, namun yang tetap saja ia rindukan. Namun dalam perkembangan cerita, suasana bergeser menjadi dilematis, ketegangan, kacau balau, penuh intrik, dan pengkhianatan.

d) Sosial Budaya 
Kehidupan masyarakat dalam novel ini digambarkan hidup di bawah garis kemiskinan. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya rumah yang menyatu dengan kandang, serta warga yang senang mengharap bantuan sosial. Selain itu, tingkat pendidikannya juga rendah. Kebanyakan lulusan SMP saja. Masyarakat Jatisaba juga masih menggenggam erat budaya tradisional yang dekat dengan kepercayaan tahayul. Misalnya saat berharap hujan, mereka akan mengarak nini cowong, sementara untuk menolak hujan penduduk Jatisaba mengadakan ebeg (kuda lumping). Meskipun demikian, acara keagamaan juga akrab dengan masyarakatnya. Setiap pekan selalu rutin diadakan yasinan, tahlilan, maupun barzanji.

Ulasan
Latar dalam novel ini tampak hidup dan mendukung isi cerita. Pas dengan tokoh dan konfliknya. Kepandaian Ramayda memilih dan menyelaraskan latar membuat pembaca bisa membayangkan keadaan Jatisaba hingga seolah-olah berada di dalamnya. 

Alur

Novel ini beralur mundur. Cerita dimulai dari pelarian Mae dan calon-calon TKW, kemudian kembali dan mengisahkan awal kedatangan Mae di Jatisaba.

Ulasan

Meski rangkaian ceritanya rapi dan mudah dipahami, ada dua hal yang cukup mengganggu. Yang pertama adalah pengarang tak menceritakan alasan Mae menjadi TKW. Ia pergi karena tuntutan ekonomi atau faktor lain? Hal ini membuat pembaca meraba-raba sendiri alasan kepergiannya. 

Selain itu, pemilihan alur mundur ini seperti dipaksakan. Pada bagian awal (bab 1) pengarang menulis cerita yang diulangi persis di bagian akhir. Akan lebih elok seandainya bab satu dibuang saja dan langsung masuk ke bab 2. Novel ini tidak akan berkurang kualitasnya seandainya pengarang tetap menggunakan alur maju (progresif). 


Sudut pandang

Pengarang menggunakan sudut pandang orang pertama pelaku utama. Tokoh utama Mae dikisahkan dalam bentuk "aku".

Ulasan

Pemilihan sudut pandang orang pertama membuat pengarang asyik meliuk-liuk ke dalam cerita. Ia tampak begitu lincah menyelami konflik demi konflik yang terjadi. Hanya saja, seperti penggunaan sudut pandang orang pertama lainnya, terkadang pembaca pemula menganggap sosok "aku" dalam cerita ini adalah pengarang sendiri.    

Amanat

Cepat atau lambat, apa yang kita perbuat pasti mendapatkan balasan yang setimpal. Oleh karena itu, berhati-hatilah dalam melakukan sesuatu. 

Ulasan

Ending dalam cerita ini memberikan pesan penting dalam kehidupan, bahwasanya, perbuatan buruk, serapi apa pun disembunyikan, lama-lama akan terendus dan terbongkar juga. Apalagi jika pelakunya hanya sindikat kecil yang bermodal kecerdikan tanpa punya beking orang-orang kuat. 

Selain itu, amanat penting lainnya adalah musuh sejati bisa berasal dari orang yang paling dekat dengan diri sendiri. 

 

Kebahasaan

Dalam novel ini Ramayda Akmal banyak menyelipkan istilah dan bahasa daerah, khususnya dialek Banyumasan. Ia tak ragu menyisipkannya karena menyertakan catatan kaki pada kata-kata yang dimaksud. Maka, di sepanjang novel pembaca akan menjumpai kata-kata seperti tai ngasu, dere, gili lor, usel-uselan, dan banyak lagi yang lain, yang sangat mungkin tak dipahami pembaca jika tidak melihat catatan kaki. Selain itu, dalam menulis monolog, ia tidak menggunakan kalimat langsung bertanda petik yang diakhiri dengan penjelasan misalnya batinku atau pikirku. Monolog itu diganti pengarang dengan tulisan miring, tanpa penjelasan apa-apa. 

Estetika bahasa juga tampak diperhatikan pengarang. Penggunaan berbagai majas membuat novel ini berasa benar sastranya. Contohnya seperti kalimat-kalimat berikut: 

  • Lidah Sitas selalu mendahului otaknya. Dan otaknya terlalu kecil untuk mengingat-ingat apa yang baru saja dikatakan (sarkasme), halaman 13.
  • Semakin tua, waktu menjadi seperti kereta listrik, tidak memberi kesempatan sedikit pun untuk melihat keindahan, dan akan menghancurkan jika kita melawannya. Atau seperti gerobak lembu, yang menahan kita dalam kubangan kenangan penuh lumpur (simile) halaman 15. 
  • Ibu sedang merasakan euforia bunga euphorbia (asonansi) halaman 18.
  • Aku benci mendengar kalimat 'bawalah anakku ke kota'. Mereka tak memahami, kalimat itu seperti putusan vonis mati bagiku. Kalimat yang membawaku serta ke neraka dengan segunung rasa bersalah abadi. (hiperbola) halaman 44.
  • Dia iblis yang selalu tersenyum. Semanis apa pun senyumnya, dia itu iblis. (sarkasme) halaman 72.
  • Sitas memarahi suaminya. Di hadapannya, Pontu adalah anjing yang lemah. Anjing yang duduk di gerbang, kedinginan dengan tubuh penuh koreng. Anjing seperti itu harus menyediakan diri untuk ditendang majikannya. (sarkasme) halaman 99.
  • dan masih banyak yang lain
Penggunaan kalimat-kalimat seperti itu membuktikan bahwa Ramayda Akmal cukup serius menggarap novelnya. Ia tidak hanya memperhatikan isi, tetapi juga meraciknya dalam diksi dan gaya bahasa yang indah.   

Sebagai penutup, novel ini cukup pantas dibaca para pecinta novel, terutama pembaca pemula yang mencoba menaikkan levelnya menjadi pembaca novel sastra. Ia indah, tetapi tetap renyah dipahami oleh semua pembaca. Dari 1 - 10, "Jatisaba" layak diberi nilai 9.       

Comments

Popular posts from this blog

Ulasan Cerpen "PAK SARKAM", karya Achdiat K. Mihardja

JATISABA: Keindahan Cerita di Balik Ketidakselarasan Desa