BUKU BEKAS: Barang Bekas yang Tak Kenal Kedaluwarsa

Saya kenal dan mulai belanja barang bekas setelah lulus SMA, sekitar 30 tahun yang lalu. Alasannya klise, harganya murah, masih nyaman dipakai, dan syukur-syukur bermerek.Cocok dipakai mbois-mboisan muda. Apalagi setelah lulus SMA saya berprinsip tak ingin membenani keuangan orang tua--yang tinggal ibu saja. Jadilah barang bekas (istilah kerennya seken) menjadi pilihan memenuhi kebutuhan.

Mula-mula barang seken yang saya beli berupa pakaian: celana jins, jaket, dan kemeja kotak-kotak yang kami sebut Samijo. Saya (dan teman-teman) tak tahu sebutan aslinya. Hanya karena kemeja yang biasa dipakai lakon-lakon dalam film koboi itu kebetulan bermerek Samijo, kami menamainya Samijo. Setelah beberapa lama, baru kami tahu istilahnya: kemeja flanel. Kegemaran membeli barang bekas berlanjut ke sepatu, ponsel, kamera, barang kebutuhan sehari-hari, dan terakhir: buku. 

Pasar loak Comboran, Malang
Sumber gambar: motogokil.com

Buku masuk dalam list barang bekas yang saya gandrungi karena sejak kecil saya suka membaca. Asal Anda tahu, saya sudah bisa membaca sebelum masuk SD di tahun 1980, sesuatu yang tak lazim kala itu. Rata-rata teman-teman saya baru lancar membaca di kelas tiga. Mengapa saya bisa cepat membaca? Ceritanya begini:

Suatu ketika salah satu kakak saya (kami tujuh bersaudara) meminjam komik Superman, komik dengan gambar yang sangat bagus dan berwarna. Selama berhari-hari komik itu tergeletak begitu saja di kasur kakak saya, di meja ruang tamu, di rak penyekat ruang, di dapur, di atas tivi hitam putih keluarga kami, atau di mana pun tempat terakhir ia baca. Saya yang belum mengenal huruf hanya membolak-balik gambarnya sembari menerka-nerka isi cerita. Karena penasaran, saya tanyakan isinya pada kakak saya. Bukannya menjelaskan, ia justru menjawab singkat, "Makanya belajar membaca." Sejak itu saya belajar membaca dan baru lancar setelah komiknya dikembalikan. 

Komik Superman
Sumber gambar: twitter.com/hikmatdarmawan

Sejak itu saya mulai membaca buku apa saja yang ada di rumah--rata-rata milik bapak dan ditulis dalam ejaan lama. Saya perlu meminta bantuan ibu untuk memahami cara membaca kata yang ada huruf 'dj' dan 'tj'-nya. Saya juga tidak menemukan huruf 'c' dan 'y' di sana. Buku-buku yang saya ingat berjudul Mari Beternak Ajam, Soeharto (dengan subjudul yang saya lupa), Muhammad SAW, Hamka, sampai Kitab Primbon Betaldjemur Ngadamakna. Rupanya bapak tak berkenan saya membaca buku yang terakhir. Buku itu beliau ambil dan sembunyikan di tempat yang tak saya ketahui hingga sekarang. Sebagai ganti, bapak membelikan saya komik Donald Bebek dan Paman Gober di emperan toko dekat pasar ketika kami jalan-jalan di Minggu pagi. Buku bekas, kalau tak salah ingat harganya 25 rupiah.  

Kegemaran membaca terus terpupuk seiring bermunculannya persewaan buku. Kakak saya yang lain menggemari Wiro Sableng. Ia rutin menyewa dan aku yang disuruh berangkat. Jarak 2 kilometer menuju persewaan yang saya tempuh dengan jalan kaki menjadi ringan karena saya bisa ikut membaca. Puluhan seri sudah saya baca. Beberapa di antaranya menyisipi adegan 17 tahun ke atas, membuat saya yang belum sampai remaja megap-megap menahan napas. 

Buku berita Wiro Sableng
sumber gambar: sentral.com

Saat SMP, ada persewaan baru yang yang lebih dekat dengan rumah. Di sana saya menyewa komik-komik Barat macam Tintin, Asterix, Lucky Luke, Agen Polisi 212, atau Smurf. Saya memilih komik-komik itu alih-alih komik superhero atau Donald Duck karena (menurut saya) ceritanya seru, cerdas, dan lucu. Superhero hanya menjual keseruan, sedangkan Donald Duck tak selucu film kartunnya. Alasan itu membuat saya menepikannya dari daftar selera bacaan. Saya menyewa di hari Sabtu dan mengembalikan di hari Senin, hasil menyisihkan uang saku seminggu. 

Komik-komik Barat
sumber gambar: shopee.co.id

Di awal SMA jenis bacaan saya berubah. Seperti remaja pada umumnya yang mulai menyukai lawan jenis, buku yang saya baca pun bertema remaja, lebih tepatnya cinta remaja. Namun hasrat saya pada jenis bacaan ini segera menguap. Selain alur dan endingnya mudah ditebak, kehidupan tokoh-tokohnya yang digambarkan glamour dan mewah sulit saya terima. Di tengah-tengah kejengahan itu, hadirlah serial Lupus di majalah Hai. 

Kehadiran serial Lupus ini memberi gairah baru dalam membaca. Meski tinggal di Ibukota, kehidupan Lupus justru terasa dekat dan mewakili saya--dan teman-teman segerombolan. Lupus tetap ceria di tengah ekonomi keluarga yang pas-pasan, suka mengarang siasat untuk menembak gadis pujaan meski berkali-kali ditolak, sulit membeli barang yang diinginkan karena celengannya terus dicongkeli uangnya, sering membeli sesuatu dengan cara patungan, suka gila-gilaan bersama teman, kerap melanggar peraturan sekolah dan berupaya mencari cara agar lolos dari sanksi, serta banyak kekonyolan lain yang mirip dengan kami. Gara-gara Lupus, kisah-kisah percintaan yang saya katakan tadi menjadi bahan olok-olokan gerombolan kami. Oh ya, saya bisa rutin membaca Hai karena salah satu teman berlangganan. Saya cuma nebeng saja.

Lupus
Sumber gambar: e-sentral.com

Ketika mulai kuliah di jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, jenis buku yang saya baca lagi-lagi bergeser. Kali ini ke arah sastra. Selain tuntutan tugas, tentunya agar terlihat "naik kelas". Pada karangan-karangan sastra saya menemukan banyak hal baru yang tidak saya peroleh dari cerita-cerita sebelumnya. Konflik, gaya bahasa, gaya penceritaan, dan karakter tokoh-tokohnya mencengangkan. Saya merasakan antusias yang berbeda seperti anak kecil yang mendapat mainan baru. 

Ronggeng Dukuh Paruk menjadi novel pertama yang (dalam bahasa sastrawan A.S.Laksana) menghantam kepala saya. Novel ini seolah membangunkan saya dari tidur panjang tentang sebuah cerita. Jika cerita-cerita yang pernah saya baca berakhir datar dan hampa, tak ada kesan yang membekas sebagai perenungan, novel karya Ahmad Tohari ini membuat saya terus geleng-geleng kepala dan berdecak kagum. Beberapa kali saya harus meletakkan buku untuk membayangkan dan menyimpan kesan ke dalam hati dan pikiran. Barangkali sebelum menulis ia bertapa dulu hingga efek karangannya luar biasa. 

Ahmad Tohari tidak hanya menciptakan cerita dengan konflik yang tajam, tetapi juga menyodorkan berbagai fakta sejarah, politik, budaya, kemanusiaan, dan hal-hal sensitif lainnya. Tak cukup di situ, ia masih membungkus ceritanya dengan bahasa yang indah. Secara detail ia deskripsikan penokohan, keadaan alam, ekosistem, dan suasana hingga ke bagian paling kecil dan spesifik, seperti bentuk, warna, ukuran, tekstur, kelembekan, dan aroma tahi sapi serta jenis lalat yang mengerubunginya. 

Kover novel Ronggeng Dukuh Paruk
Sumber gambar: google.co.id

Secara bertubi- tubi setelah membaca Ronggeng Dukuh Paruk, terlebih saat masih bisa meminjam gratis di perpustakan kampus, saya membaca cukup banyak karya sastra--yang hampir semuanya menonjok kepala. Namun setelah lulus, intensitas membaca saya kembali menurun. Harga buku baru yang cukup tinggi untuk ukuran kantong saya menjadi alasan--lebih tepatnya saya gunakan untuk mencari-cari alasan. Hingga sampailah suatu saat, saya bergabung dengan grup obral buku (baru atau bekas) yang kebetulan mampir di beranda facebook saya. 

Grup ini diisi orang-orang yang menawarkan buku dengan harga miring--karena rata-rata bekas. Para penjual menyampaikan harga, deskripsi buku, dan menyertakan foto barang. Para calon pembeli menimbang dan menakar sendiri sesuai minat dan kebutuhan sebelum memutuskan. Jika cocok, transaksi dilakukan masing-masing pihak atas atas dasar kepercayaan. 

Dari sini saya mendapat banyak buku. Judul buku dan nama pengarang yang sering diperbincangkan, atau yang saya angan-angankan, atau yang beberapa kali keluar dalam soal ujian, saya masukkan dalam list daftar belanja. Jika ada yang menawarkan dan cocok, pasti saya sikat. Hingga saat ini sudah 155 buku yang saya beli meski baru seperempat yang saya baca. Dan itu tak masalah. Sebekas apa pun buku, mereka tak pernah kedaluarsa. Yang penting bagi saya adalah mewajibkan diri membaca. Setiap hari. Tanpa perlu menarget satu buku harus saya selesaikan selama sekian hari atau lainnya. Membaca, menikmati, mengapresiasi, mendapat kekayaan pikiran dan rohani yang tidak saya dapat di luar dunia pustaka, dan berharap dapat memberi manfaat bagi saya atau orang lain. 

Buku koleksi 

Sebagai wujud syukur, untuk selanjutnya blog ini akan saya gunakan mengapresiasi dan mengulas buku-buku yang sudah saya baca. Semoga bermanfaat.     

Comments

Popular posts from this blog

Analisis Isi dan Kebahasaan Novel "Jatisaba" Karya Ramayda Akmal

Ulasan Cerpen "PAK SARKAM", karya Achdiat K. Mihardja

JATISABA: Keindahan Cerita di Balik Ketidakselarasan Desa