Ulasan Cerpen "PAK SARKAM", karya Achdiat K. Mihardja

     Achdiat Karta Mihardja merupakan salah satu tokoh sastrawan Angkatan 45. Adalah roman Atheis yang membuat namanya melambung sehingga banyak disebut dalam pelajaran Sastra Indonesia. Jika Chairil Anwar dikenal karena puisinya, Achdiat karena prosanya. 

    Tulisan ini merupakan ulasan 12 cerpen Achdiat yang terhimpun dalam buku kumcer Keretakan dan Ketegangan. Sesuai urutannya, secara khusus tulisan ini mengulas cerpen pertama yang berjudul Pak Sarkam, Cerita-cerita lainnya akan dibahas pada tulisan berikutnya.   

    Cerpen ini berkisah tentang kepahitan hidup warga kampung Pasirhuni, khususnya keluarga Pak Sarkam yang menjadi tokoh utama cerita. Sebagai petani, kehidupan keluarga Pak Sarkam jauh dari cukup. Hal ini karena ulah tengkulak sekaligus rentenir yang memanfaatkan kepolosan dan kebodohan mereka dengan memonopoli penjualan hasil panen. Mereka tak mampu menolak harga jual yang sangat rendah karena tak punya pilihan. Untuk menutupi kebutuhan hidup, Haji Mukti, si tengkulak tersebut, menawarkan pinjaman uang dan menjadikan sawah mereka sebagai jaminan. Kalah oleh tingginya kebutuhan hidup dan hasil panen yang tak bisa diandalkan akibat hama dan biaya perawatan membuat sawah Pak Sarkam ludes. Pada akhirnya keluarga ini hanya menjadi petani penggarap sawah Haji Mukti saja. 

    Kepahitan hidup itu masih belum selesai. Konflik utama terjadi ketika kampung mereka diserang gerombolan perampok yang ternyata pemberontak. Para perampok berdalih aksinya merupakan bentuk perlawanan terhadap pemerintah yang telah mengkhianati perjuangan kemerdekaan dan menjadi kapitalis imperialis baru. Mereka juga memaksa negara harus berdasarkan agama tertentu. 

    "Warga harus mendukung dengan menyerahkan seluruh harta untuk perjuangan  ini," kata mereka.

    Kejadian ini direspons pemerintah dengan sangat lambat. Setelah harta warga Pasirhuni nyaris habis, barulah pemerintah mengerahkan pasukan. Kedatangan tentara menciptakan tragedi baru keluarga Pak Sarkam. Satu peluru menyasar Bu Sarkam yang berjalan pulang setelah mencuci di kali dalam aksi saling tembak antara gerombolan pemberontak dengan tentara pemerintahan. Ia roboh tertembus peluru dan tewas di tempat. Kejadian itu sangat memukul Pak Sarkam. Apalagi setelah pertempuran berakhir, dua anaknya hilang. Yang pria dipaksa ikut anggota gerombolan dan yang wanita dibawa lari tentara.

    Tanah habis, rumah tiada, istri meninggal, dan dua anaknya hilang membuat Pak Sarkam benar-benar terpukul. Hanya karena masih punya anak bungsu  membuatnya tetap bertahan. Bersama anak terkecilnya ia pergi ke kota, melanjutkan sisa-sisa kehidupan, setidaknya untuk masa depan anak bungsunya. 

     Ternyata kota tak seperti yang ia bayangkan. Kehidupan di sana lebih keras karena setiap orang hidup sendiri-sendiri dan pekerjaan tak mudah didapat. Untuk menyambung hidup, mereka harus mengais-ngais sisa makanan dan menjadi pemulung, hal yang tidak selamanya mereka dapat. Pada puncak kelaparan, si bungsu melakukan hal yang tak pernah dibayangkan: mencuri. Dan sialnya tertangkap. Ia digelandang polisi dan dijebloskan ke penjara. Hal yang akhirnya membuat Pak Sarkam gila.

     Tema dalam cerita ini membuktikan karakteristik sastra angkatan 45 yang mengisahkan beratnya kehidupan pada awal masa kemerdekaan. Bagi masyarakat umum, bisa makan nasi dengan lauk ikan asin dan garam serta menyuguhkan ubi pada tamu saja sudah lebih dari cukup. Dan sanggup membelikan satu baju setahun sekali untuk anak-anak secara bergilir menjadi anugerah lain yang tak terkira. 

     Menggunakan alur maju, Achdiat membungkus ceritanya dengan konflik yang terus menanjak dan mengakhirinya secara sad ending. Dengan lugas ia tampilkan pula tokoh-tokoh oportunis, culas, dan penindas yang dari mereka segala kritik sosial dipaparkan: tentang orang kaya yang menindas dan memanfaatkan orang lemah, penguasa yang tak peduli nasib rakyat, politikus yang hanya muncul dalam wujud poster-poster di jalan dan pidato-pidato di tanah lapang, ahli hukum dan wartawan yang hanya mengeksploitasi kesusahan demi keuntungan pribadi, atau pendidik yang lebih mementingkan jabatan basah. Yang menarik, antagonis dalam cerita ini adalah seorang muslim, haji pula. Dan gerombolan pemberontaknya juga bermuara pada agama Islam.  


Catatan Politik:

1.     Tragedi dan peristiwa-peristiwa besar hanya sebagai komoditas koran. Penguasa yang akhirnya tahu, menyikapi dengan “geleng-geleng”, bukan cepat menyelesaikan.

2.    Orang hanya kenal pemimpinnya dari gambar di surat kabar atau saat pidato dalam rapat raksasa.

3.    Negara telah dijual kepada kaum imperialis-kapitalis. Oleh karena itu, jangan sampai rampok-rampok itu mendapat kesempatan menggaruk keuntungan dari negara kita. Itulah alasan negara harus kita kacaukan terus-menerus.

4.    Imperialis-kapitalis musuh agama. Sebagai orang beragama, kita harus menghancurkan mereka. Dan negara kita harus berdasarkan agama kita.

5.    Bagaimana anak-anak tak mencuri kalau mereka dibiarkan bergelandangan tak mendapat didikan, tak disuruh pergi sekolah. Mana itu ahli pendidikan? Mana itu guru-guru? Apa mereka semua lebih senang menjadi opsir, kepala di kementrian, atau pemimpin-pemimpin partai?

6.    Bikinlah masyarakat makmur, tanggung takkan ada lagi pencurian. Kalau sekarang ada orang yang harus dididik, merekalah si tuan-tuan besar, yang biarpun cukup segala-galanya tapi masih suka korup, mencuri uang rakyat.

7.    Apa yang harus didahulukan, orang-orangnya yang harus dididik supaya masyarakat menjadi beres, atau masyarakatnya dulu yang harus dibikin beres supaya orang-orangnya menjadi baik?

8.    Kalau ada yang perhatian terhadap kebobrokan, maka itu hanya untuk lekas-lekas memperkaya diri di masa kini.

9.    Tapi yang baik-baik dan jujur-jujur seolah tak berdaya terhadap kebusukan yang sekarang merajalela.

10. Rakyat masih tetap melarat, masih tinggal di gubuk-gubuk, kelaparan dan setengah telanjang, lebih buruk dari jaman penjajahan.

11.  Mereka sangat kecewa kepada pemimpin yang dulu banyak memberi janji-janji yang muluk-muluk.

Comments

Popular posts from this blog

Analisis Isi dan Kebahasaan Novel "Jatisaba" Karya Ramayda Akmal

JATISABA: Keindahan Cerita di Balik Ketidakselarasan Desa