JATISABA: Keindahan Cerita di Balik Ketidakselarasan Desa



Kadang saya membeli buku tanpa kenal penulisnya. Saya hanya berpedoman pada ulasan di internet, membaca ringkasan atau blurb di bagian belakang buku, atau rekomendasi penulis yang sudah saya ketahui kualitasnya. Novel ini contohnya. Saya tertarik karena Ahmad Tohari, pengarang yang sudah saya ketahui kesaktiannya, turut campur dengan menulis sedikit ulasan di kover depan. Dan ternyata, novel ini memang bagus.  

Jatisaba menceritakan kehidupan TKW ilegal yang terjebak dalam perdagangan manusia. Mae, tokoh utama novel ini, terpasung dalam sindikat jual beli manusia sehingga tak bisa pulang. Ia baru diizinkan menyambangi kampung halamannya--bahkan boleh tak kembali--dengan syarat membawa wanita-wanita lain sebagai pengganti. Melalui negosiasi yang tak menguntungkan, Mae pun bisa mencium kembali aroma tanah kelahirannya--meski terus dikuntit dan dalam pengawasan ketat. 

Gadis yang digambarkan sebagai mantan kembang desa ini tiba menjelang Pilkades. Seperti pada umumnya, para calon kepala desa berlomba-lomba menebar pesona dan menjual citra demi mendulang massa. Kehadiran Mae dimanfaatkan para calon kades untuk mempengaruhi warga. Mae yang dipuji-puji sebagai salah satu warga tersukses di perantauan, diklaim sebagai simpatisan salah satu calon. Kesempatan ini dipakai Mae untuk memengaruhi warga agar bersedia menjadi TKW. Upaya ini seperti gayung bersambut. Apalagi secara tradisi warga Jatisaba memang banyak yang menjadi buruh migran. 

Yang jadi masalah, sesungguhnya Mae tahu bahwa masa depan para wanita yang akan dikirimnya akan sangat gelap atau bahkan hancur. Di sana mereka rentan terhadap berbagai bentuk kekerasan, pelecehan seksual, dan yang paling menakutkan: diperjualbelikan organ dalamnya setelah meninggal. Sebenarnya Mae tak sampai hati mengkhianati saudara-saudara sedusunnya yang polos-polos dan lugu. Namun sebagai manusia biasa, keselamatan dan masa depan diri sendiri tetap yang utama. Di luar itu, rupanya klaim terhadap Mae oleh salah satu calon tak bisa diterima lawannya. Mae pun terseret dalam arus konflik Pilkades yang keruh, penuh intimidasi, teror, dan fitnah. 

Bukan karena keberhasilannya menjadi pemenang unggulan Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2010 yang membuat saya memuji novel ini. Jatisaba keren karena mampu menampilkan konflik masyarakat desa secara manusiawi dan apa adanya. Jika banyak orang memahami desa sebagai tempat yang tenteram dan harmonis, novel karya Ramayda Akmal ini justru menyuguhkan hal-hal yang barangkali tak terpikirkan orang kota: tentang persaingan, iri dengki, saling gosip, kelicikan, dan banyak hal buruk lainnya. Orang yang baik banyak, tapi yang culas juga tak kalah banyak. 

Ramayda Akmal

Bukan hanya itu, Akmal juga cakap menggambarkan tokoh-tokoh dan latar cerita dalam bahasa yang sederhana dan membumi, tentunya dengan tetap memperhatikan penggunaan bahasa kias dan majas. Ia mampu memotret secara detail dan cermat suasana desa: tentang ingus bocah yang terus meleleh dan diisap terus menerus hingga menciptakan jalur di antara bibir dan dua lubang hidungnya, tentang gedek rumah yang sudah rapuh dan berlubang hingga harus ditutup selembar poster bintang film India, tentang kamar yang bau dan lembab campuran tanah basah, jamus kayu, bau tikus, atau kencing kucing, tentang sebuah warung di belakang kuburan yang selalu ramai karena juga menyediakan beberapa meja untuk berjudi, berbagai merek minuman keras murahan, serta menerima order mengoplos minuman, dengan pelanggan mulai dari penjual ayam, tukang ojek, juragan beras, hingga beberapa pejabat desa. Semua tampak alami, tak terlihat dibuat-buat. 

Di tengah-tengah konflik utama, Akmal juga menyisipkan berbagai kritik yang nyatanya memang bertebaran di masyarakat. Seolah tanpa beban, ia enteng menyoroti money politic, pejabat korup, penunggangan agama untuk kepentingan politik, atau kongkalikong pengusaha dengan aparat. 

Membaca novel ini mengingatkan saya pada gaya Ahmad Tohari. Barangkali karena kemiripan tersebut sastrawan kondang ini bersedia menuliskan sedikit catatan di kover depan. Atau mungkin karena keduanya berasal dari satu karesidenan yang sama? 

Berikut beberapa kutipan yang saya anggap menarik dari novel Jatisaba. Kutipan lengkap pada posting berikutnya. 

Jalan yang berlubang dan bergelombang menjadi identitas kedua kampungku. Bendera partai berkibar-kibar di atas pohon kelapa, di bawahnya gubuk reyot. (9)
- Lidah Sitas selalu mendahului otaknya. Dan otaknya terlalu kecil untuk mengingat-ingat apa yang baru saja dikatakan. (13)
- Tidak ada tanda kehidupan yang mampu mereka pertahankan selain membuat dan melahirkan anak. (26) 
- Ketika Yasinan, saat tuan rumah menyediakan lontong opor, maka Yasin dibaca begitu keras. Daftar orang-orang yang dibacakan menjadi sangat panjang. Pohon-pohon di halaman didoakan semoga cepat berbuah, bebek-bebek didoakan semoga cepat bertelur, anak-anak mendapat nilai sembilan di rapornya. Hal ini membuat orang-orang yang hanya mampu menyuguhkan kacang rebus, manggleng, atau kamir lama-lama tidak menyukai yasinan. (43)
- Orang yang melarat akan benci sama orang yang sukses. Apalagi kalau mereka bersaudara. (63)
- Pemuda-pemuda desa bertelanjang dada. Mereka kuat dan sederhana. Menjalani hidup dengan pilihan-pilihan mudah atau dimudahkan oleh mereka sendiri. Jika lapar mereka nawu, jika haus mereka ke sumur, jika birahi mereka memilih istri, jika punya anak mereka jadi kuli bangunan, jika kurang beras mereka mbawon, jika sakit mereka siap mati. Hidup sangat gampang bukan? (70)
- Penari-penari seperti Musri dibutuhkan untuk ditertawakan. Penonton memperoleh kepuasan ketika berhasil mempermalukan Musri di depan umum. Mungkin seorang lelaki tua akan mengomentari perut Musri yang berkerut-kerut setelah melahirkan. Yang lain menghitung jumlah bekas luka atau gudhik di kaki Musri. Sementara yang lain akan menampari wajah Musri yang tak berdaya. (84)
- Sitas memarahi suaminya. Di hadapannya, Pontu adalah anjing yang lemah. Anjing yang duduk di gerbang, kedinginan dengan tubuh penuh koreng. Anjing seperti itu harus menyediakan diri untuk ditendang majikannya. (99)
- Betul-betul, di kampung ini, angin mempunyai mulut. Dinding-dinding bertelinga. (104)
- Sifat kacung yang selalu memuji tidaklah berarti dia betul-betul menyenangkan. Itu bagian dari pekerjaan. (113)
- Yang khas dari Besuk dan tidak akan berubah adalah bibirnya yang mencang-mencong kalau bicara dan ludah yang muncrat-muncrat setiap kali pembicaraannya menjadi serius atau menggebu-gebu. (162)
- Awae menatapku. Matanya masih bengkak oleh air mata, tetapi mulutnya penuh dengan roti gaplek sumbangan dan tangannya memegang es teh dalam plastik. (207)
- Gao membenamkan wajahnya di lipatan dadaku yang tak seberapa. (220)

Comments

Popular posts from this blog

Analisis Isi dan Kebahasaan Novel "Jatisaba" Karya Ramayda Akmal

Ulasan Cerpen "PAK SARKAM", karya Achdiat K. Mihardja